Bismillah
PERANG KHANDAQ
Perang Khandaq, dinamakan juga
perang Ahzab. Menurut Ibnu
Ishaq, Urwah bin Zubair, Baihaqi
dan jumhur Ulama, sirah
menyebutkan bahwa peperangan ini terjadi pada bulan Syawwal
tahun kelima Hijra. Ada juga yang
mengatakan pada tahun
keempat Hijra. Pendapat yang
terakhir ini dikemukakan oleh
Musa bin Uqbah kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan
diikuti oleh Malik.
Sebabnya, karena beberapa
pemimpin Yahudi dari Bani Nadlir
berangkat ke Mekkah untuk
mendorong kaum Musyrikin Quraisy melancarkan perang
terhadap Rasulullah saw. Mereka
berjanji: “Kami akan berperang
bersama-sama kalian hingga
berhasil menghancurkannya.“
Selanjutnya mereka berdalih dan meyakinkan bahwa:
“Kepercayaan kalian (orang-
orang Quraisy) jauh lebih baik
daripada agama Muhammad.“
Berkenaan dengan mereka inilah
Allah swt menurunkan firman- Nya :
"Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang
yang diberi bagian dari al-Kitab?
Mereka percaya kepada yang
disembah selain Allah dan Thogut, serta mengatakan kepada
orang-orang kafir (Musyrik
Mekkah) bahwa mereka itu lebih
benar jalannya dariapda orang-
orang yang beriman. Mereka
itulah orang yang dikutuki Allah. Siapa saja yang dikutuki Allah,
niscaya kamu sekali-kali tidak
akan memperoleh penolong
baginya.“ QS an-Nisa 51-52
Maka mereka bersepakat
bersama kaum Musyrikin Quraisy untuk memerangi kaum Muslimin,
pada hari yang telah ditentukan
bersama.
Kemudian para pemimpin Yahudi
itu mendatangi suku Ghathafan
dan berhasil mewujudkan persekutuan dengan mereka
sebagaimana yang telah berhasil
diciptakannya dengan kaum
musyrikin Quraisy. Selain Bani
Ghatfahan, turut bergabung pula
Bani Fuzarah dan Bani Murrah yang selama itu menyimpan
dendam kesumat terhadap Islam.
Ketika Rasulullah saw mendengar
berita keberangkatan mereka
dari Mekkah, beliau
mengumumkannya kepada kaum Muslimin dan memerintahkan
mereka untuk mengadakan
persiapan perang. Rasulullah saw
meminta pandangan para
sahabatnya dalam menghadapi
peperangan ini. Salman al-Farisi mengusulkan supaya digali parit
di sekitar kota Madinah. Kaum
Muslimin mengagumi usulan ini
dan menyetujuinya (karena cara
ini belum pernah dikenal oleh
bangsa Arab dalam peperangan mereka). Kemudian bersama
Rasulullah saw kaum Muslimin
keluar dari kota Madinah dan
berkemah di lereng gunung Sila
dengan membelakanginya.

Mereka mulai menggali parit yang memisahkan mereka dengan
musuh mereka. Waktu itu jumlah
kaum Muslimin sebanyak tiga ribu
sedangkan kaum Quraisy
bersama kabilah-kabilah lain
berjumlah sepuluh ribu. Gambaran kerja kaum Muslimin
dalam menggali parit: Imam
Bukhari meriwayatkan dari Barra
ra, ia berkata: Pada waktu
perang Ahzab saya melihat
Rasulullah saw menggali parit dan mengusung tanah galian sampai
saya tidak dapat melihat dada
beliau yang berbulu lebat karena
tebalnya tanah yang
melumurinya. Diriwayatkan dari
Anas ra, bahwa kaum Anshar dan Muhajirin menggali parit dan
mengusung tanah galian seraya
mengucapkan :
"Kami adalah orang-orang yang
telah berbaiat kepada
Muhammad untuk setia kepada Islam selama kami masih hidup.“
Ucapan ini dijawab oleh Rasulullah
saw :
"Ya, Allah sesungguhnya tiada
kebaikan kecuali kebaikan
akherat maka berkatilah kaum Anshar dan Muhajirin.“
Imam Bukhari meriwayatkan di
dalam Shahih-nya dari Jabir ra,
ia berkata: Ketika kami sedang
sibuk menggali parit di Khandaq
kami temukan sebongkah batu besar yang sukar untuk
dipecahkan. Para sahabat
melapor kepada Nabi saw:
“Sebongkah batu menghambat
kelancaran kami dalam
penggalian Khandaq“. Kata Nabi saw: "Biarkan aku yang
turun.“ Kemudian beliau segera
bangkit, sedang perut beliau
diganjal dengan batu.
Sebelumnya kami tidak pernah
merasakan makanan apa pun selama tida hari. Nabi saw segera
mengambil martil dan
dipukulkannya di atas batu itu
hingga hancur berupa pasir.
Kata Jabir ra: "Aku katakan
kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah ijinkanlah aku untuk
pulang sebentar.“ Sesampaiku di
rumahku aku katakan kepada
istriku,“ Aku lihat sesuatu pada
diri beliau yang tidak boleh kita
biarkan. Adakah kamu mempunyai sesuatu?“
Jawab istriku: “Ya, aku punya
gandum dan seekor anak
kambing.“ Kemudian anak
kambing itu segera kusembelih
dan gandum itu kutumbuk. Daging kambing itu kumasak
dalam periuk dan tepung gandum
kumasukkan ke dalam
pembakaran roti. Aku kembali ke
tempat Nabi saw dan kukatakan:
“Ya, Rasulullah saw, aku ada sedikit makanan. Datanglah
engkau ke rumahku bersama
seorang atau dua orang
sahabatmu.“
Tanya Nabi saw, “Berapa
banyakkah makanan itu?“ Setelah kusebutkan jumlah
makanan itu beliau berkata, “Itu
cukup banyak dan baik. Katakan
pada istrimu jangan diangkat
masakan itu dari atas tungku
dan roti itu jangan pula sampai dikeluarkan dari tempat
pembakarannya sebelum aku
datang ke sana.“
Kemudian Nabi saw memanggil
kaum Muhajirin dann Anshar,
“Bangkitlah kalian!“ Di dalam riwayat lain disebutkan:
Kemudian Nabi saw berteriak
memanggil, “Wahai para penggali
parit, mari kita datang.
Sesungguhnya Jabir telah
memasak makanan besar.“ Ketika aku masuk ke tempat
istriku kukatakan padanya,
“Nabi saw datang bersama kaum
Muhajirin dan Anshar dan orang
yang bersama mereka.“
Tanya istriku: “Apakah beliau menanyakan berapa banyak
makanan kita? Jawabku: “Ya.“
Istriku berkata, "Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui.“
Kemudian Nabi saw datang
seraya berkata: “Masuklah kalian dan jangan berdesakan.“
Kemudian Nabi saw memotong-
motong roti dan dicampurkan
pada daging serta kuah yang
ada di periuk. Kemudian beliau
mendekatkan hidangan kepada para sahabat sedang beliau
tetap memotong-motong roti itu
dan dalam waktu yang
bersamaan para sahabat makan
dengan puas sampai kenyang.

Mereka semuanya kenyang, sedangkan roti dan kuah masih
tetap banyak sisanya. Beliau
berkata, “Makanlah ini dan
bagikanlah kepada orang banyak
karena kini sedang terjadi musim
paceklik.“ Di dalam riwayat lain Jabir
menurutkan: “Aku bersumpah
dengan nama Allah. Mereka telah
makan hingga mereka pergi dan
meninggalkan daging di dalam
periuk kami masih tetap utuh, demikian pula roti kami.“
Sikap orang-orang Munafiq dalam
penggalian Khandaq
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa
orang-orang munafiq merasa
enggan dalam mengerjakan penggalian parit bersama Nabi
saw dan kaum Muslimin. Mereka
sengaja menampakkan diri
seperti orang lemas dan tidak
memiliki kemampuan. Bahkan
banyak yang melarikan diri ke rumah tanpa sepengetahuan
Rasulullah saw. Sedangkan setiap
orang dari kaum Muslimin apabila
mempunyai keperluan, ia pasti
meminta ijin kepada Rasulullah
saw dan kembali lagi melaksanakan tugas
penggaliannya. Berkenaan
dengan sikap ini Allah
menurunkan firman-Nya:
"Sesungguhnya yang sebenar-
benar mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan apabila mereka
bersama-sama Rasulullah dalam
sesuatu urusan yang
memerlukan pertemuan, mereka
tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta ijin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang
meminta ijin kepadamu
(Muhammad) mereka itulah
orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta ijin
kepadamu karena sesuatu
urusan, berilah ijin kepada siapa
yang kamu kehendaki di antara
mereka, dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha
Penyayang.“ QS An-Nur : 62
Bani Quraidlah melanggar
Perjanjian
Huyay bin Akhthab pergi mendatangi Ka‘ab bin Asad al-
Qardli, mengajaknya untuk
melanggar perjanjian yang telah
disepakati bersama Rasulullah
saw. Huyay bin Akhthab berkata
kepadanya, “Aku datang kepadamu dengan membawa
pasukan Quraisy beserta para
pemimpinnya yang telah
kuturunkan di sebuah lembah di
dekat Raumah, dan suku
Ghatfahan beserta para tokohnya yang telah kuturunkan
di ujung Nurqma di samping Uhud.
Mereka telah berjanji kepadaku
untuk tidak meninggalkan
temapat sampai kita berhasil
menumpas Muhammad dan orang-orang yang bersamanya.“
Ka‘ab menjawab: “Demi Allah,
kamu datang kepadaku dengan
membawa kehinaan sepanjang
jaman … Celaka engkau wahai
Huyay. Tinggalkan dan biarkanlah aku karena aku tidak melihat
Muhammad kecuali sebagai
seorang yang jujur dan setia.“
Tetapi Huyay terus mendesaknya
hingga pada akhirnya Ka‘ab
bersedia untuk melakukan pengkhianatan terhadap
perjanjian tersebut.
Setelah mendengar berita ini
Rasulullah saw segera mengutus
Sa‘ad bin Muadz untuk
menyelidikinya. Kepadanya Nabi saw berpesan agar berbicara
kepada Huyay dengan bahasa
kiasan yang difahaminya jika
berita itu benar, dan agar tidak
memberikan peluang kepada
orang banyak untuk menggunakan kekuatannya. Jika
berita ini tidak benar maka
hendaknya segera diumumkan
kepada khalayak ramai. Setelah
melacak berita dan ternyata
berita itu benar maka Sa‘ad pun segera kembali kepada
Rasulullah saw melaporkannya,
“Ya, mereka telah melanggar
perjanjian sebagaimana suku
Adhal dan Qarah.“ Lalu Rasulullah
saw mengatakan : "Allah Maha Besar, bergembiralah
wahai kaum Muslimin.“
Keadaan kaum Muslimin pada
waktu itu
Kaum Muslimin mendapat
kepastian bahwa Bani Quraidlah telah melanggar perjanjian. Pada
saat yang sama kaum Munafiqin
pun menyebarkan bibit-bibit
keraguan dan perpecahan di
kalangan kaum Muslimin.
Sementara musuh datang dari segala penjuru arah. Kaum
Munafiq terus melancarkan
tikaman dari dalam. Salah
seorang dari kaum Munafiq itu
berkata: “Dulu Muhammad
menjanjikan bahwa kita akan memakan harta kekayaan Kisra
dan Kaisar, tetapi sekarang
untuk pergi membuang hajat pun
kita tidak aman.“
Melihat keadaan kaum Muslimin
yang semakin terancam ini maka Rasulullah saw meminta
pandangan Sa‘ad bin Muadz
Sa‘ad bin Ubadah untuk
melakukan perdamaian dengan
kabilah Ghatfahan dengan
memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah agar
mereka bersedia untuk tidak
ikut memerangi kaum Muslimin.
Keduanya menjawab: “Wahai
Rasulullah saw, apakah pemikiran
ini merupakan perintah yang engkau inginkan agar kami
melaksanakannya ataukah
perintah yang diperintahkan oleh
Allah kepadamu, ataukah sekear
kebijaksanaan yang engkau ambil
untuk meringankan kami?“. Nabi saw menjawab, "Hanya sekedar
kebijaksanaan yang aku ambil
untuk menghancurkan kepungan
mereka terhadap kalian.“ Pada
saat itu SA‘ad bin Muadz
berkata kepada Nabi saw, “Demi Allah, kita tidak perlu mengambil
langkah itu. Demi Allah kami tidak
akan rela memberikan sesuatu
kepada mereka selain daripada
pedang sampai Allah memutuskan
sesuatu antara kami dan mereka.“ Setelah mendengar
ucapan Sa‘ad bin Muadz ini
wajah Rasulullah saw kelihatan
berseri dan berkata kepadanya:
“Engkau dapat yang engkau
inginkan“ Ibnu Ishaq meriwayatkan dari
Ashim bin Amer bin Qatadah dari
Muhammad bin Muslim bin Syihab
Az-Zuhri berkata: Pernyataan
dan keinginan berdamai (antara
kaum Muslimin dan Ghatfahan) itu tidak lain hanyalah sebagai
manuver belaka.

Dalam pada itu kaum Musyrikin
dikejutkan oleh parit di
hadapannya. Mereka berkata,
sungguh ini merupakan tipu daya yang tidak pernah dilakukan oleh
bangsa Arab. Kemudian mereka
mengambil posisi dan berkemah di
sekitar parit mengepung kaum
Muslimin. Tetapi tidak terjadi
pertempuran kecuali beberapa orang Musyrik yang berusaha
menyeberangi parit di suatu
sudut yang sempit dan berhasil
dicegat oleh kaum Muslimin. Dalam
usaha ini sebagian mereka
kembali dan sebagian yang lain terbunuh. Di antara orang
Musyrik yang terbunuh itu
terdapat Amer bin Wudd. Ia
dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib.
Kekalahan kaum Musyrikin tanpa
peperangan Allah memberikan kemenangan
kepada kaum Muslimin dalam
perang Khandaq ini tanpa melalui
pertempuran. Allah mengalahkan
mereka dengan dua sarana yang
tidak melibatkan kaum Muslimin sama sekali. Pertama, dengan
seorang lelaki dari kaum
Musyrikin bernama Nu‘aim bin
Mas‘du, yang datang kepada
Nabi saw menyatakan diri masuk
Islam yang kemudian menawarkan diri kepada Nabi
saw untuk melaksanakan segala
bentuk perintah yang diinginkan
oleh Nabi saw. Lalu Nabi saw
memberikan tugas untuk
memecah kekuatan musuh. Kepadanya Nabi saw berpesan :
"Diantara kita, engkau adalah
satu-satunya orang yang dapat
melaksanakan tugas itu. Bila
engkau sanggup, lakukanlah
tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan,
sesungguhnya adalah tipu
muslihat.“
Nu‘aim kemudian segera pergi
mendatangi orang-orang Bani
Quraidlah untuk meyakinkan. Mereka mengira Nu‘aim masih
sebagai seorang Musyrik agar
mereka tidak turu berperang
bersama-sama kaum Quraisy
sebelum mendapat jaminan dari
mereka berupa beberapa orang terkemuka sebagai sandera,
supaya kaum Quraisy tidak
mundur meninggalkan mereka
sendirian di Madinah tanpa
pembela dalam menghadapi
Muhammad dan para sahabatnya. Mereka menjawab: “Engkau
telah memberikan suatu
pendapat yang amat baik.“
Setelah itu Nu‘aim pergi
mendatangi pemimpin-pemimpin
Quraisy. Kepada mereka Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani
Quraidlah telah menyesal atas
apa yang mereka lakukan dan
secara sembunyi-sembunyi
mereka telah melakukan
kesepakatan bersama Nabi saw untuk menculik beberapa peimpin
Quraisy dan Ghatfahan untuk
diserahkan kepada Nabi saw
untuk dibunuhnya. Karena itu,
bila orang-orang Yahudi itu
datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang sebagai
sandera, janganlah kalian
menyerahkan seorang pun
kepada mereka.
Nu‘aim kemudian pergi
mendatangi orang-orang Bani Quraidlah. Kepada mereka ia
mengemukakan apa yang
dikemukakannya kepada orang-
orang Quraisy. Demikianlah
akhirnya terjadi salah paham di
antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga masing-
masing dari mereka menuduh
terhadap yang lainnya sebagai
berkhianat.
Kedua, dengan mengirimkan
angin taufan pada malam hari yang dingin dan mencekam. Angin
taufan datang menghempaskan
kemah-kemah merekan dan
menerbangkan kuali-kuali
mereka. Hal ini terjadi setelah
mereka melakukan pengepungan kepada kaum Muslimin selama
sepuluh hari lebih.
Muslim meriwayatkan dengan
sanad-nya dari Hudzaifah bin al-
Yaman ra, ia berkata: “Pada
suatu malam dalam situasi perang Ahzab, kami bersama
Rasulullah saaw merasakan
tiupan angin yang sangat
kencang, dan dingin mencekam.
Kemudian Rasulullah saw
bersabda: “Adakah orang yang bersedia mencari berita musuh
dan melaporkannya kepadaku,
mudah-mudahan Allah
menjadikannya bersamaku pada
Hari Kiamat.“ Kami semua diam,
tak seorang pun dari kami menjawabnya. Rasulullah saw
mengulangi pertanyaan itu
sampai tiga kali. Kemudian
berkata:"Bangkitlah wahai
Hudzaifah, carilah berita dan
laporkanlah kepadaku.“ Maka tidak boleh tidak aku harus
bangkit, karena beliau menyebut
namaku. Nabi saw berpesan:
“Berangkatlah mencari berita
musuh dan janganlah engkau
melakukan tindakan apapun.“ Ketika aku berangkat dari
sisinya aku berjalan seperti
orang yang sedang dicengkeram
kematian, hingga aku tiba di
basis mereka. Kemudian aku lihat
Abu Shofyan sedang menghangatkan punggungnya di
perapian. Lalu aku pasang anak
panah di busur untuk
memanahnya, tetapi aku segera
teringat pesan Rasulullah saw,
“Janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Kalau aku
panahkan pasti akan mengenai
pahanya. Kemudian aku kembali
dengan berjalan seperit orang
yang sedang dalam cengkeraman
maut. Setelah aku datang kepada Nabi saw dan
menyampaikan berita tentang
kaum Musyrikin, Nabi saw
menyelimuti aku dengan kainnya
yang biasa dipakai untuk shalat.
Malam itu aku tidur sampai pagi dan dibangunkan oleh Nabi saw
seraya berkata, “Bangun, hai
tukang tidur.“
Ibnu Ishaq meriwayatkannya
dengan tambahan : Kemudian aku
masuk di kalangan kaum Musyrikin, ketika angin dan
tentara-tentara Allah sedang
mengobrak-abrik mereka,
menerbangkan kuali,
memadamkan api, dan
menumbangkan perkemahan. Kemudian Abu Shafyan bangkit
seraya berkata: “Wahai kaum
Quraisy, setiap orang hendaknya
melihat siapa teman duduknya?“
Hudzaifah berkata: “Kemudian
aku memegang tangan orang yang berada di sampingku lalu
aku bertanya kepadanya:
“Siapakah anda?“ Dia menajwab:
“Fulan bin Fulan". Selanjutnya
Abu Shofyan berkata: “Wahai
kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat
terus berada di tempat ini.
Banyak ternak kita yang mati.
Orang-orang Bani Quraidlah telah
menciderai janji dan kita
mendengar berita yang tidak menyenangkan tentang sikap
mereka. Kalian tahu sendiri kita
sekarang sedang menghadapi
angin taufan yang hebat. Karena
itu, pulang sajalah kalian, dan
aku pun akan berangkat pulang.“
Pada keesokkan harinya seluruh
kaum Musyrikin kembali
meninggalkan medang perang,
dan Rasulullah saw pun bersama
para sahabatnya kembali ke Madinah.
Selama perang Ahzab ini
berlangsung Nabi saw tidak
henti-hentinya, siang malam
senantiasa beristighfar,
merendahkan diri, dan berdo'a kepada Allah untuk kemenangan
kaum Muslimin. Di antara do'a
yang diucapkannya ialah :
"Ya Allah, Tuhan yang
menurunkan kitab (Al-Quran)
yang Maha cepat hidab-Nya, kalahkanlah barisan Ahzab
(golongan Musyrikin). Kalahkanlah
dan guncangkanlah mereka.“
Pada peperangan ini Nabi saw

luput satu waktu shalat
kemudian dilaksanakan (qadlah) di luar waktunya. Di sebutkan di
dalam Ash-Shahihain bahwa Umar
bin Khathab ra datang, waktu
perang Ahzab, setelah matahari
terbenam kemudian dia
mengecam orang-orang kafir Quraisy lalu berkata: “Wahai
Rasulullah saw! Aku belum sempat
shalat Ashar sampai matahari
hampir terbenam.“ Nabi saw
menjawab: “Demi Allah, aku
sendiripun belum shalat (Ashar).“ Lalu kami berangkat ke tempat
air dan berwudlu. Kemudian Nabi
saw shalat Ashar setelah
matahari terbenam. Setelah itu
Nabi saw melanjutkan dengan
shalat maghrib. Imam Muslim menambahkan Hadits
lainnya bahwa Nabi saw bersabda
pada perang Ahzab, “Mereka
(kaum Musyrikin) telah
menyibukkan kita sehingga kita
tidak sempat Shalat Ashar. Semoga Allah swt memenuhi
rumah-rumah dan kuburan-
kuburan mereka dengan api".
Kemudian Nabi saw melaksanakan
(shalatz Ashar) antara Maghrib
dan Isya‘ Beberapa Ibrah
Peperangan ini juga terjadi
karena pengkhianatan dan tipu
muslihat orang-orang Yahudi.
Merekalah yang menggerakkan
menghasut dan menghimpun golongan (Ahzab) dan kabilah itu.
Kejahatan dan pengkhianatan ini
tidak cukup dilakukan oleh
orang-orang Yahudi Bani Nadlir
yang telah diusir dari Madinah.
Bahkan Banu Quraidlah pun yang masih terikat perjanjian bersama
kaum Muslimin kini telah
melakukannya. Padahal tidak ada
satu pun tindakan kaum Muslimin
yang mengundang mereka untuk
melanggar perjanjian tersebut. Kita tidak perlu mengulas kembali
peristiwa pengkhianatan ini,
karena pengkhianatan-
pengkhianatan seperti ini telah
menjadi catatan sjearah yang
sudah dikenal pada setiap jaman dan tempat.
Sekarang, mari kita kembali
kepada peristiwa-peristiwa yang
telah kami bentangkan dalam
peperangan ini, untuk mencatat
beberapa pelajaran dan hukum yang terkandung di dalamnya.
1.- Di antara sarana perang
yang digunakan oleh kaum
Muslimin dalam peperangan ini
ialah penggalian parit. Perang
dengan menggali parit ini merupakan peperangan yang
pertama kali dikenal dalam
sejarah bangsa Arab dan Islam.
Karena taktik dan teknik
peperangan seperti ini biasanya
dikenal oleh bangsa Ajam (non- Arab). Seperti anda ketahui
bahwa orang yang mengusulkan
cara ini dalam perang Ahzab ialah
Salman al-Farisi. Nabi saw sendiri
mengagumi usulan ini dan segera
mengajak para sahabatnya untuk melaksanakannya.
Ini merupakan salah satu dari
sejumlah dalil yang menunjukkan
bahwa, “Pengetahuan adalah
milik kaum Muslimin yang hilang. Di
mana saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya
daripada orang lain.“
Sesungguhnya syariat Islam,
sebagaimana melarang kaum
Muslimin mengikuti orang lain
secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka
untuk mengambil dan
mengumpulkan nilai-nilai kebaikan
dan prinsip-prinsip yang
bermanfaat di mana saja
didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang
Muslim tidak boleh mengabaikan
akalnya yang merdeka dan
pikirannya yang cermat dalam
segala perilaku dan urusannya.
Dengan demikian maka dia tidakakan dapat dikuasai dan
dibawah ke mana saja oleh
sistem yang bisa diterima oleh
akal sehat dan sesuai dengan
pirnsip-prinsip syariat Islam.
Sikap yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya
munculdari sumber utama yaitu
kehormatan yang ditetapkan
Allah swt kepada manusia
sebagai tuan (pemimpin) segenap
makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan
tehradap Hukum-hukum
Syariatnya hanyalah merupakan
jaminan untuk memelihara
kehormatan dan kepemiminan
tersebut.
2.- Apa yang telah kami
sebutkan tentang kerja para
sahabat bersama Rasulullah saw
dalam menggali parit merupakan
suatu pelajaran besar yang
menjelaskan hakekat persamaan yang ditegakkan oleh
masyarakat Islam di antara
seluruh anggotanya. Ia juga
bukan sekedar slogan yang
menarik untuk mengelabui
masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar
memancarkan semua nilai dan
prinsip Islam baik secara lahiriah
ataupun batiniah.
Anda lihat bahwa Rasulullah saw
tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk menggali parit
sementara dia sendiri pergi ke
istana mengawasi mereka dari
kejauhan. Beliau juga tidak
datang kepada mereka dalam
suatu pesta yang meriah untuk meletakkan batu pertama
pertanda dimulainya pekerjaan
kemudian setelah itu pergi
meninggalkan mereka. Tetapi
Rasulullah saw secara langsung
berperan aktif menggali bersama para sahabatnya sampai pakaian
dan badannya kotor bertaburan
debu dengan tanah galian
sebagaimana para sahabatnya.
Mereka bersahut-sahutan
mengucapkan senandung ria, maka beliau pun ikut
bersenandung untuk
menggairahkan semangat
mereka. Mereka merasakan letih
dan lapar, maka beliau pun yang
yang paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakekat
persamaan antara penguasa dan
rakyat, antara orang kaya dan
orang miskin, antara Amir dan
rakyat jelata, yang ditegakkan
oleh syariat Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam
didasarkan kepada prinsip ini dan
untuk menjamin terlaksananya
hakekat ini.
Tetapi janganlah anda
menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku atau
pemerintahan. Prinsip persamaan
dan keadilan ini sama sekali tidak
dapat dipersamakan dengan
demokrasi manapun. Karena
sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah ubudiyah
kepada Allah swt yang
merupakan kewajibab seluruh
manusia. Sedangkan sumber
demokrasi ialah pendapat
mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas atas orang
lain, betapa pun wujud dan
tujuan pendapat tersebut.
Oleh karena itu, Syariat Islam
tidak pernah memberikan hak
istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga tidak
pernah memberikan kekebalan
kepada kelompok tertentu
betapapun motivasi dan
sebabnya, karena sifat ubudiyah
(kehambaan kepada Allah swt) telah meleburkan dan
menghapuskan semua itu.

3.- Dalam peristiwa sirah ini pula
terkandung pelajaran lain yang
mengungkapkan potret Kenabian
dalam sosok kepribadian Nabi saw. Menampakkan kecintaan
para sahabat kepada Nabi saw
dan kasih sayangnya kepada
mereka. Dan memberikan contoh
lain dari perkara luar biasa dan
mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya.
Pribadi Kenabiannya tampak
pada perjuangannya menghadapi
rasa lapar yang dialaminya pada
saat bekerja bersama para
sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan batu
pengganjal ke perutnya untuk
menghilangkan rasa nyeri dan
sakit di lambungnya akibat lapar.
Apakah gerangan yang membuat
beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan
seperti ini? Adakah karena
ambisinya kepada kepemimpinan?
Ataukah karena kerakusannya
terhadap harta kekayaan dan
kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk
mendapatkan pengikut yang
selalu mengawalnya setiap saat?
Semua itu bertentangan dengan
diametral dengan penderitaan
dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang yang
tamak atas kedudukan,
kekuasaan atau kekayaan tidak
akan tahan bersabar
menanggung penderitaan seperti
ini. Yang membuatnya sanggup
menghadapi semua itu hanyalah
tanggung jawab risalah dan
amanah yang dibebankan
kepadanya untuk menyampaikan
dan memperjuangkannya kepada manusia dalam suatu perjuangan
yang memiliki tabiat seperti itu.
Itulah pribadi Kenabian yang
tampak pada kerjanya bersama
sahabat ketika menggali parit.
Sedangkan kecintaan Nabi saw kepada para sahabatnya dapat
anda lihat jelas dalam sikap
responsifnya terhadap undangan
Jabir untuk menikmati hidangan
yang hanya sedikit itu.
Sesuatu yang mendorong Jabir untuk mengundang Nabi saw
ialah pemandangan yang
menyedihkan. Yaitu ketika
melihat Nabi saw mengikatkan
batu ke perutnya karena
menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di
rumahnya kecuali untuk
beberapa orang, sehingga dia
mengundang beberapa orang
saja.
Tetapi mungkinkah Nabi saw meninggalkan para sahabatnya
bekerja sambil menahan lapar
sementara dirinya bersama tiga
atau empat orang sahabatnya
beristirahat menikmati hidangan?
Sesungguhnya kasih sayang Nabi saw kepada para sahabatnya
lebih besar ketimbang kasih
sayang seorang ibu kepada
anaknya.
Jabir terpaksa melakukan
tindakan itu, sebenarnya wajar, karena dia sebagaimana manusia
biasa tidak dapat bertindak
kecuali sesuai dengan sarana
material yang dimilikinya.
Makanan yang ada padanya
tidak mencukupi, menurut ukuran manusia biasa, kecuali
untuk beberapa orang saja,
sehingga dia hanya mengundang
Nabi saw dan beberapa orang
sahabatnya.
Namun Nabi saw tidak akan pernah terpengaruh oleh
pandangan Jabir tersebut.
Pertama, karena tidaK mungkin
Nabi saw mengutamakan dirinya
daripada para sahabatnya dalam
menikmati hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin
Nabi saw menyerah kepada
faktor-faktor material dan
batas-batasnya yang bisa
membelenggu manusia. Tetapi
karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka
mudah bagi-Nya untuk
memberkati makanan yang
sedikit sehingga mencukupi orang
banyak.
Demikianlah Nabi saw, memiliki pandangan bahwa dirinya dan
para sahabatnya adalah saling
takaful (sepenanggungan). Saling
berbagi rasa baik dalam suka
atau pun duka. Oleh sebab itu,
Nabi saw menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan
bagi mereka, sementara itu Nabi
saw memanggil para sahabatnya
untuk menikmati hidangan besar
di rumah Jabir.
Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor
kambing kecil milik Jabir menjadi
makanan yang banyak dan
mencukupi ratusan sahabat,
bahkan masih bersisa banyak
sehingga Nabi saw mengusulkan kepada Sahibul bait (istri Jabir)
agar membaginya kepada orang
lain. Mukjizat yang mengagumkan
ini dianugerahkan kepada Nabi
saw sebagai penghargaan Ilahi
karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang
tidak mau menyerah kepada
faktor-faktor material karena
keyakinannya kepada kekuasaan
Allah swt, yang mutlaq.
Apa yang saya inginkan dalam masalah ini ialah supaya para
pembaca menyadari adanya
dukungan Ilahi yang diberikan
kepada Nabi saw melalui sebab-
sebab material. Hal itu
merupakan salah satu faktor terpentig untuk menonjolkan
pribadi Kenabiannya kepada para
pengkaji dan pemangat sirah
Nabi saw. Faktor ini dapat kita
jadikan sebagai dalil yang kuat
untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek
Kenabian pada pribadi Muhammad
saw.
4.- Apakah gerangan hikmah
musyawarah Nabi saw kepada
sebagian sahabatnya, untuk menawarkan perdamaikan
kepada banu Ghatfahan dengan
imbalan memberikan sepertiga
hasil panen kota Madinah kepada
mereka asalkan mereka bersedia
menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan golongan-
golongan lainnya? Apakah dalil
Syariat yang dapat dijadikan
sebagai landasan pemikiran ini ?
Hikmahnya ialah bahwa Nabi saw
mengetahui sejauh mana para sahabatnya itu telah memiliki
kekuatan moral dan sikap
tawakal kepada pertolongan
Allah swt pada saat menghadapi
kepungan kaum Musyrikin secara
mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan
oleh banu Quraidlah. Sudah
menjadi kebiasaan Nabi saw
seperti telah anda ketahui
bahwa ia tidak suka menyeret
para sahabatnya kepada suatu peperangan atau petualangan
yang mereka sendiri belum cukup
memiliki keberanian untuk
memasikunya, atau tidak
meyakini segi-segi positifnya. Hal
ini termasuk salah satu uslub tarbiyah Nabi saw yang paling
menonjol kepada para
sahabatnya. Oleh sebab itu,
beliau mengemukakan bahwa
pandangan itu bukan ketetapan
dari Allah, tetapi sekedar pandangan yang dikemukakan
dalam rangka upaya
menghancurkan kekuatan kaum
Musyrikin apabila mereka (para
sahabat) tidak memiliki
kemampuan untuk menghadapinya.
Dalil syariat yang menjadi
landasan pemikiran ini ialah
prinsip bahwa syura itu dilakukan
pada masalah yang tidak
ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak berarti bahwa
kaum Muslimin boleh memberikan
sebagian tanah mereka atau
hasil panen buminya kepada
musuh apabila mereka (musuh)
menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan. Karena
telah disepakati dalam dasar-
dasar Syariat Islam bahwa
tindakkan Rasulullah saw yang
dapat dijadikan sebagai hujjah
(dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang
telah dilaksanakannya, kemudian
tidak ditentang oleh kitab Allah
(al-Quran). Adapun hal-hal yang
masuk ke dalam batas-batas
usulan (dalam permusyawaratan) dan dengar pendapat semata-
mata, tidak dapat dijadikan
sebagai dalil. Karena diadakannya
musyawarah itu, pertama,
mungkin sekedar untuk menjajagi
mentalitas seperti yang kami sebutkan di atas. Yakni sebagai
amal tarbawi (pembinaan)
semata-mata. Kedua, seandainya
pun telah dilaksanakan mungkin
setelah itu datang sanggahan
dari kitab Allah, sehingga tidak lagi memiliki nilai sebagai dalil
Syariat.
Tetapi para Ulama risah dalam
masalah ini telah menyebutkan
bahwa Nabi saw tidak sampai
menjadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghatfahan.
Bahkan sebenarnya Nabi saw
tidak pernah memiliki keinginan
untuk berdamai dengan Bani
Ghatfahan. Apa yang diusulkan
hanyalah sekedar sebagai manuver dan penjajagan.
Hal ini kami katakan karena ada
sementara pihak di masa
sekarang ini yang
mengemukakan pendapat aneh :
Bahwa Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti) kepada
non-Muslim manakala diperlukan.
Dengan alasan bahwa Nabi saw
pernah meminta pandangan para
sahabatnya ketika perang Ahzab
untuk melakukan hal tersebut. Terlepas dari apa yang telah
kami jelasnkan, bahkan usulan
semata-mata yang dikemukakan
dalam pembahasan musyawarah
tidak bisa dijadikan dalil. Kami
tidak tahu apa hubungannya antara jizyah dan sesuatu yang
mungkin dapat mendamaikan
atas kedua pihak yang
berperang itu ?
Mungkin anda bertanya:
"Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus
melepas sebagian harta mereka
demi untuk melindungi kehidupan
mereka dan khawatir akan
dimusnahkan semuanya, apakah
mereka tidak boleh melakukan itu ?
Jawabannya, banyak sekali
kondisi yang menunjukkan
betapa harta kaum Muslimin
dirampas dan dijadikan barang
rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah
menyerbu negeri Islam dan
menguras kekayaannya. Tetapi
kaum Muslimin tidak menerima
kenyataan ini secara suka rela
atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa harus tunduk
kepada kondisi tersebut.
Kendatipun demikian mereka
senantiasa mencari dan
menunggu kesempatan untuk
melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu bahwa hukum-
hukum Syariat Islam ditujukan
kepada orang-orang yang tidak
dipaksa, sebagaimana tidak
ditujukan kepada anak-anak
kecil atau orang gila. Oleh karena itu, adalah keliru
dan sia-sia belaka jika hukum
taklif itu ditetapkan kepada
orang-orang yang berada di luar
batas taklif.

5.- Bagaimana dan dengan sarana apa kaum Muslimin
berhasil memetik kemenangan
atas kaum Musyrikin dalam
peperangan ini ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa
sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini
(perang Khandaq) sama dengan
sarana yang pernah digunakan
dalam perang Badr. Yaitu sarana
mendekatkan diri kepada Allahs
wt. Sarana inilah yang senantiasa digunakan Rasulullah saw setiap
kali menghadapi musuh di medan
jihad. Sarana yang mutlak harus
digunakan oleh kaum Muslimin
jika mereka ingin memetik
kemenangan. Bagaimana kaum Musyrikin yang
berjumlah banyak itu bisa
terkalahkan, setelah kaum
Muslimin menunjukkan
keteguhan, kesabaran, dan
kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt.
Dapat kita baca dalam penjelasan
Allah swt di dalam firman-Nya:
"Hai orang-orang yang beriman,
ingatlah akan nikmat Allah swt,
(yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang
kepadamu tentara-tentara, lalu
Kami kirimkan kepada mereka
angin taufan dan tentara yang
tidak dapat kamu melihatnya.
Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu
ketika mereka datang kepadamu
dari atas dan dari bawahmu, dan
ketika tidak tetap lari
perlihatanmu dan hatimu naik
mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu
menyangka terhadap Allah
dengan bermacam-macam
purbasangka .. sampai dengan
firman Allah, “Dan Alah yang
menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka
penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memperoleh keuntungan
apapun. Dan Allah menghindarkan
orang-orang Mukmin dari
peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“
QS al-Ahzab : 9-25
Sesungguhnya pertolongan Allah
swt yang selalu terulang dalam
peperangan-peperangan
Rasulullah saw ini tidak berarti menggalakkan kaum Muslimin
untuk melakukan "petualangan“
dan jihad tanpa persiapan dan
perencanaan. Ia hanya
menjelaskan bahwa setiap Muslim
harus mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang
terpenting, disamping sarana-
sarana yang lainnya, ialah
kesungguhan dalam meminta
pertolongan kepada Allah swt,
dan mengikhlaskan ubudiyah hanya kepada-Nya. Seluruh
sarana kekuatan tidak akan
berguna apabila sarana ini tidak
terpenuhi secara baik. Jika
sarana ini telah dipersiapkan
secara memadai oleh kaum Muslimin maka Ia (Allah swt) akan
memberikan beraneka mukjizat
kemenangan.
Jika bukan karena pertolongan
Allah swt dari manakah
datangnya angin topan yang memporak-porandakan tentara-
tentara Musyrikin itu sementar
akaum Muslimin tenang tanpa
merasakannya? Di pihak
Musyrikin angin itu
menghempaskan kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-
kuali mereka, dan
mengguncangkan hati mereka.
Tetapi di pihak kaum Muslimin ia
adalah angin sejuk yang
menyegarkan.
6.- Pada peperangan ini
Rasulullah saw tidak sempat
shalat Ashar karena
kesibukkannya menghadapi
musuh sehingga beliau
mengqadla-nya setelah matahari terbenanm. Di dalam beberapa
riwayat, selain dari Bukhari dan
Muslim, disebutkan bahwa shalat
yang terlewatkan lebih dari satu
shalat, kemudian Nabi saw
melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya.
Ini menunjukkan dibolehkannya
mengqadlah shalat yang
terlewatkan. Kesimpulan ini tidak
dapat dibantah oleh pendapat
yang mengatakan bahwa penundaan shalat karena
kesibukkan seperti itu dibolehkan
pada waktu itu, namun kemudian
dihapuskan ketika shalat khauf
disyariatkan kepada kaum
Muslimin, baik yang berjalan kaki ataupun yang berkendaraan.
Tetapi penghapusan itu
seandainya benar bukan
terhadap dibolehkannya
mengqadlah. Ia hanya
menghapuskan bolehnya menunda shalat karena
kesibukkan. Yakni penghapusan
bolehnya menunda tidak berarti
juga penghapusan terhadap
bolehnya mengqadlah.
Dibolehkannya mengqadlah tetap sebagaimana ketentuan semula.
Di samping itu, dalil yang pasti
menegaskan bahwa shalat khauf
disyariatkan sebelum peperangan
ini, sebagaimana telah dibahas
ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa‘.
Di antara dalil lain yang
menunjukkan bolehnya qadlah
shalat ialah riwayat yang
disebutkan di dalam Ash-
Shahihain bahwa Nabi saw bersabda pada waktu berangkat
kembali ke Madinah dari perang
Ahzab. "Janganlah ada seorang
pun yang shalat Ashar (atau
Zhuhur) kecuali setelah sampai di
bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah
waktu shalat Ashar. Sebagian
berkata, “Kami tidak akan
shalat sebelum smapai ke sana
(Bani Quraidlah)“. Sedangkan
sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan shalat, Beliau tidak
memaksudkan itu (melarang
shalat)“. Akhirnya kelompok
pertama melaksanakan shalat
setelah sampai di Banu Quraidlah
sebagai shalat qadlah. Kewajiban mengqadlah shalat
yang terlewatkan ini sama saja,
baik terlewatkan karena tidur,
lalai atau sengaja ditinggalkan.
Karena setelah adalnya dalil
umum yang mewajibkan qadlah shalat yang terlewatkan tidak
ada dalil yang mengkhususkan
syariat qadlah ini dengan sebab-
sebab tertentu. Para sahabat
yang meninggalkan shalatnya di
tengah perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur
atau lupa. Oleh sebab itu, adalah
keliru jika syariat qadlah shalat
yang terlewatkan ini dikhususkan
bagi orang yang tidak sengaja
melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang
mengkhususkan qadlah shalat
dengan shalat wajib tertentu
saja, tanpa landasan syariat.
Barangkali ada sebagian orang
yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang
mengkhususkan keumuman
syariat qadlah itu :
"Siapa saja yang shalatnya
terlewatkan karena tertidur
atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia
teringat.“
Tetapi pemahaman ini tidak
dapat diterima. Sebab, tujuan
utama Hadits ini bukan hanya
memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadlah
shalatnya, tetapi tujuannya ialah
untuk menegaskan keterangan
pada waktu ia teringat.
Keterangan ini menjelaskan
bahwa orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang
terlewatkan tidak disyariatkan
untuk menunggu datangnya
waktu shalat tersebut pada hari
berikutnya. Tetapi ia harus
segera mengqadlah pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan
demikian mafhum mukhalafah dari
hadits di atas tidak dapat
dibenarkan.
<< kembaliSumber :-Daffodil Muslimah

<< kembali------Selanjutnya >>
DAFTAR FILE

Teya Salat